Rabu, 17 Juni 2009

Merangkul Anak Lewat Komunikasi Positif

Jika sejak dini anak sudah sering diajak dialog, berdiskusi, bercerita, dan dibiasakan untuk berani.

Bulan Nopember tahun 2008 ada berita yang membuat saya miris. Ada penilaian yang cukup mencengangkan mengenai perkembangan Balita di Kota Bandung. Hasil salah satu Workshop yang digelar di Bandung menyebutkan bahwa 30% Balita di Kota Bandung berpotensi tumbuh dengan IQ rendah karena mengalami masalah perkembangan.

Penyebab utama gangguan tersebut adalah kurangnya stimulasi dari orang dewasa di sekitar balita tersebut. Selanjutnya Dr. Kusnandi Rusmil, dr., Sp.A(K), M.M., salah satu pembicara dalam acara Workshop tersebut mengatakan, ada tiga faktor yang memengaruhi perkembangan anak, yaitu genetika (keturunan), lingkungan, dan stimulasi.

Lebih lanjut Dr. Kusnadi menekankan pentingnya stimulasi yang baik dari orang dewasa. Misalnya, membiasakan diri berbicara dengan anak sejak lahir dan mengajak anak bermain aktif sehingga anak selalu ingin tahu dan belajar (Pikiran Rakyat/2/11/08).

Tanpa mengenyampingkan arti penting faktor keturunan (genetika), perkembangan anak ditentukan oleh lingkungan dan stimulasi, hal ini erat kaitannya dengan jalinan komunikasi yang terjadi antara orang tua dan anak. Dr Glenn Doman dalam The Gentle Revolution telah melakukan penelitian yang dilakukan pada anak cacat mental (saat lahir memiliki IQ di bawah 70). Ia menyediakan waktu setiap harinya untuk bermain, berbicara, bercerita, menunjukkan gambar dan berbagai informasi kepada mereka dengan sabar dan tekun. Hasilnya sangat luar biasa! Kegiatan komunikasi yang dilakukannya pada anak cacat mental yang berusia 2 dan 3 tahun telah menjadikan anak-anak ini mampu berpikir dan berbuat seperti layaknya anak-anak yang lahir normal. Melalui penelitiannya inilah lantas Dr Glenn berpikir jika semua aktivitas komunikasi yang diberikannya tersebut diberlakukan pada anak-anak yang ber-IQ normal hasilnya tentu akan sangat luar biasa!

Kenyataan ini menunjukkan bahwa komunikasi positif – verbal maupun non verbal – yang dilakukan orang dewasa terhadap anak akan berpengaruh pada kemampuan aktualisasi anak. Jika sejak dini anak sudah sering diajak dialog, berdiskusi, bercerita, dan dibiasakan untuk berani mengungkapkan isi hatinya, maka kepercayaan diri anak akan tumbuh. Tidak akan ada rasa sungkan, canggung, dan takut lagi pada diri anak untuk bersikap terbuka kepada orang tuanya. Jika keterbukaan anak dan orang tua sudah terjalin dengan baik, maka diharapakan akan mendobrak kekakuan, kebekuan serta kebuntuan interaksi orang tua dan anak yang akan sangat menghambat perkembangan anak di kemudian hari.

http://www.geocities.com/islamdotorg/muslim_children_in_south_africa.jpg

Berikut ini, ada 4 langkah menciptakan komunikasi positif orang tua dengan anak yang mudah-mudahan bermanfaat:

1. Landasi Komunikasi dengan Penghargaan
Dalam Islam, sikap menghargai pendapat anak telah diajarkan dan bahkan telah dipraktekkan pula oleh Rasulullah SAW sebagaimana terlihat dalam sebuah Hadist yang diriwayatkan oleh Sahal bin Sa’ad r.a.:
“Rasulullah SAW diberi minuman, dan beliau minum sebagian. Di sebelah kanannya duduk seorang anak, dan di sebelah kirinya beberapa orangtua. Rasulullah SAW bersabda kepada anak itu,”Apakah engkau mengizinkanku untuk memberi kepada mereka?.Maka anak itu menjawab,”Tidak, demi Allah. Bagianku yang diberikan oleh engkau tidak akan saya berikan kepada siapa pun.” Maka Rasulullah SAW meletakkan minuman ditangan anak itu. Dan dia adalah Abdullah bin Abbas” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Pakar komunikasi Dale Carnegie mengatakan, rahasia terbesar yang merupakan salah satu prinsip dasar dalam berurusan dengan manusia adalah dengan memberikan penghargaan yang jujur dan tulus. Bahkan menurutnya kebutuhan untuk dihargai ini adalah “rasa lapar” manusia yang tak terperikan dan tak tergoyahkan. Seorang ahli psikologi yang sangat terkenal William James juga mengatakan bahwa "Prinsip paling dalam pada sifat dasar manusia adalah kebutuhan untuk dihargai."

Di samping kasih sayang, anak juga membutuhkan penghargaan. Karenanya hargailah mereka, agar mereka berkembang menjadi orang yang percaya diri dan pandai menghargai orang lain.

2. Bangunlah Kepercayaan
Apa yang akan Anda lakukan saat keluarga dalam keadaan yang “genting”, saat komunikasi tersumbat dan “obrolan” Anda dengan anak Anda tidak pernah mengalir dengan mulus. Sudah saatnya Anda kembali ke dasar hati Anda. Kembalilah ke “nol”. Bahwa esensi komunikasi tidak terbatas "hanya" pada penyampaian pesan dari satu pihak kepada pihak lain saja. Ada hal mendasar yang harus ada agar komunikasi berjalan lancar, yaitu kepercayaan (trust). Sebaik apapun materi komunikasi, sedalam apapun kehati-hatian Anda dalam memilah kata-kata yang tepat bila tidak dilandasi kepercayaan dari Anda kepada anak Anda, maka komunikasi akan menjadi sulit dan tidak efektif.

3. Menunjukkan Rasa Empati
Orangtua yang baik tidak akan menuntut anaknya untuk mengerti keinginannya, tapi ia akan berusaha memahami anaknya terlebih dahulu. Empati adalah kemampuan untuk menempatkan diri kita pada situasi dan kondisi yang dihadapi anak. Persiapkan diri Anda untuk menjadi bagian dari anak Anda, membuka dialog dengan mereka, mendengar keluhan serta harapan-harapannya.

4. Jadilah Pendengar yang Baik
Anak akan merasa dihargai, merasa percaya diri dan mengembangkan penilaian positif terhadap dirinya, ketika orang tua menaruh perhatian tidak hanya pada kata-kata yang diucapkannya, tapi juga pada gagasan, keyakinan, kesimpulan, serta perasaan, bahkan ketika pendapat tersebut tidak sesuai dengan pendapat orang tua. Sikap orang tua yang banyak “mendengarkan” anak, membuat anak berani membuat perbedaan tanpa takut dihukum, dilecehkan atau ditertawakan.

Bill Scott secara khusus menyampaikan bahwa kunci pertama untuk mendengarkan efektif adalah konsentrasi yang dibantu oleh kesiagaan (alertness). Kesiagaan mental di bantu dengan kesiagaan fisik – bukan sekedar kebugaran fisik, melainkan juga bahasa tubuh. Mendengarkan anak secara sungguh-sungguh, membuat anak percaya pada orangtua. Hubungan mutual trust, ini membuat anak merasa lebih nyaman berada bersama orang tua. Anak akan lebih memilih ‘curhat dengan orang tua dan siap menjadi “partner” ketika orang tua yang giliran butuh didengarkan. Keadaan inilah yang akan memudahkan Anda membangun kebersamaan di dalam keluarga.

Bahagia Karena Membahagiakan

Muslim yang hebat bukanlah yang serba tahu tentang aib orang lain kemudian menyebarkannya dengan penuh suka cita

Rasulullah saw. bersabda, "Barangsiapa mengenyahkan satu kedukaan dunia dari seorang Mukmin maka Allah mengenyahkan kedukaan darinya pada hari kiamat. Barangsiapa memberikan kemudahan bagi orang yang kesulitan maka Allah akan memberinya kemudahan di dunia dan akhirat. Dan barangsiapa menutupi (aib) seorang Muslim maka Allah akan menutupi (aib)-Nya di dunia dan akhirat. Dan Allah senantiasa menolong hambanya selama ia menolong saudaranya." (H.R. Muslim)

Saat mensyarah (menjelaskan) hadis ini, Imam Nawawi menulis, "Ini merupakan hadis agung yang mencakup berbagai ilmu, kaidah, dan tatakrama." Dengan hadis ini kita mendapat penegasan bahwa Islam merupakan kasih sayang bagi sekalian alam (rahmatan lil-‘alamin), realistis, dan sangat peduli dan membela orang-orang lemah secara adil.

Orang-orang atheis menganggap agama sebagai candu (racun). Karena dalam dugaan mereka, agama –termasuk Islam—adalah ajaran yang meninabobokan. Orang-orang yang miskin disuruh bersabar karena nanti di hari akhirat akan mendapatkan kebahagiaan. Orang yang tertindas disuruh bersabar sebab nanti di hari akhirat orang yang melakukan penindasan akan dimasukkan ke neraka. Dalam pandangan orang-orang atheis, ajaran semacam ini adalah ajaran yang membuat orang menjadi fatalis, pasrah, dan bersikap "apa yang terjadi, terjadilah".

Jika mereka mengalamatkan tuduhan itu pada Islam, jelas salah. Karena sesungguhnya Islam bukanlah agama yang menolerir kezaliman di dunia, lebih-lebih atas nama kebahagiaan di hari akhirat. Islam juga bukan agama yang menjadikan kemelaratan sebagai parameter kemuliaan, baik di dunia tidak pula di akhirat kelak. Hadis ini justru memastikan bahwa di antara kelompok manusia yang akan mendapatkan kebahagian hakiki di akhirat kelak adalah orang yang rela berbagi, siap membantu, dan punya semangat mencari solusi. Dan bukannya orang-orang yang pasrah pada keadaan, putus asa, serta tidak memiliki keberdayaan. Bukan! Dan tentu saja hadis yang sedang kita kaji ini hanyalah secuil contoh dari keindahan Islam.

Ada banyak pelajaran penting yang dapat kita serap dari hadis di atas, antara lain:

Pertama, dalam kehidupan akan senantiasa ada orang yang mengalami nestapa, duka, dan kekurangan.
"Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan." (Q.S. Az-Zukhruf 43: 32)

Keadaan seperti ini adalah peluang bagi orang-orang yang mendapatkan keleluasaan untuk beramal. Keadaan miskin dan kaya di mata Allah hanyalah ujian. Orang kaya dengan kekayaannya bisa masuk surga bisa pula masuk neraka. Orang miskin dengan kemiskinannya bisa masuk surga bisa pula masuk neraka.

Kedua, Islam mengakui dan menghargai kepemilikan pribadi.
Dalam hadis itu Rasulullah saw. tidak mengatakan bahwa harta orang kaya adalah otomatis milik bersama dengan orang miskin. Rasulullah saw. justru mengisyaratkan bahwa seseorang bisa berperan dengan apa yang ia miliki –termasuk hartanya. Dan kemudian karena perbuatannya itu ia mendapatkan keberuntungan dan kebahagiaan di hari akhirat.

Untuk menghormati hasil jerih payah dan kepemilikan seseorang, Islam melarang mencuri dan menghukum pencuri dengan hukuman berat. Islam juga menilai orang yang mati dalam rangka mempertahankan hak miliknya sebagai syahid. Dan adanya kewajiban zakat, anjuran infak, dan sedekah adalah nyata-nyata menegaskan bahwa Allah tidak melarang manusia mempunyai harta, yang dilarang adalah rakus, kikir, dan menjadikan dunia sebagai tujuan.

Ketiga, kewajiban untuk memberi solusi, kemudahan, dan membantu adalah kewajiban seluruh Muslim.
Namun, bagi pemimpin hal itu lebih wajib lagi. Rasulullah saw. telah memberi contoh untuk itu. Dalam sebuah hadis disebutkan,

"Seorang lelaki datang menghadap Rasulullah saw. guna mengadukan perihal kemelaratan yang dideritanya, lalu ia pulang. Maka Rasulullah saw. mengatakan kepadanya, ‘Pergilah hingga kamu mendapatkan sesuatu (untuk dijual).’ Orang itu lalu pergi dan pulang lagi (menghadap Rasulullah saw.) dengan membawa sehelai kain dan sebuah cangkir. Orang itu lalu mengatakan, ‘Ya Rasulullah, sebagian kain ini biasa digunakan keluarga saya sebagai alas dan sebagiannya lagi sebagai penutup tubuh. Sedangkan cangkir ini biasa mereka gunakan sebagai tempat minum.’ Rasulullah saw. berkata, ‘Siapa yang mau membeli keduanya dengan harga satu dirham?’ Seorang laki-laki menjawab, ‘Saya wahai Rasulullah.’ Rasulullah saw. berkata lagi, ‘Siapa yang mau membeli keduanya dengan harga lebih dari satu dirham.’ Seorang laki-laki mengatakan, ‘Aku akan membelinya dengan harga dua dirham.’ Rasulullah saw. berujar, ‘Kalau begitu kedua barang itu untuk kamu.’ Lalu Rasulullah saw. memanggil orang (yang menjual barang) itu seraya mengatakan, ‘Belilah kapak dengan satu dirham dan makanan untuk keluargamu dengan satu dirham.’ Orang itu kemudian melaksanakan perintah itu lalu datang lagi kepada Rasulullah saw. Maka Rasulullah saw. memerintahkan kepadanya, ‘Pergilah ke lembah itu, dan janganlah kamu meninggalkan ranting atau duri atau kayu bakar. Dan janganlah kamu menemuiku selama lima belas hari.’ Maka orang itu pun pergi dan mendapatkan uang sepuluh dirham. Rasulullah saw. mengatakan, ‘Pergi dan belilah makanan untuk keluargamu dengan uang lima dirham.’ Orang itu mengatakan, ‘Ya Rasulullah, Allah telah memberikan barokah dalam apa yang kauperintahkan kepadaku.’" (H.R. Al Baihaqi)

Keempat, banyak cara yang dapat dilakukan untuk meringankan beban, mengenyahkan kesulitan, dan membantu orang lain. Jangan selalu dipahami bahwa membantu harus selalu dengah harta atau hal lain yang bersifat meterial. Kata-kata yang baik dan tepat bisa menjadi solusi yang lebih jitu ketimbang harta yang disedekahkan dengan cara menyakiti. Allah swt. berfirman, "Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Mahakaya lagi Maha Penyantun." (Q.S. Al Baqarah 2: 263)

Bahkan, ada orang yang merasa terbantu karena ada orang lain yang bersedia mendengarkannya saat dia curhat. Karenanya ada orang yang secara profesional menyiapkan diri sebagai tempat curhat.

Kelima, orang Muslim yang hebat bukanlah yang serba tahu tentang aib orang lain kemudian menyebarkannya dengan penuh suka cita. Orang yang hebat adalah orang yang mampu menjaga aib dan menutupi keburukan saudaranya. Pantang ia membicarakan keburukan saudaranya kecuali hanya untuk tujuan kemaslahatan. Betapa menyedihkannya orang yang berbahagia saat mendengar dan mengetahui keburukan dan kekurangan orang lain. Dan betapa busuknya orang yang senang melihat saudaranya jatuh martabatnya dan kehilangan keharuman namanya. Oleh karena itu, janganlah kita merasa bangga karena banyak orang yang melapor kepada kita tentang keburukan orang lain. Alih-alih bangga, kita harusnya merasa sedih. Karena jika setiap pembicaraan busuk disampaikan kepada kita, berarti kita dianggap tempat sampah. Tempat penampungan segala sesuatu yang busuk.

Keenam, kedahsyatan hari kiamat haruslah menjadi sesuatu yang kita takuti dan kemudian kita berusaha untuk melindungi diri dengan amal saleh. Allah swt. berfirman, "Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu; sesungguhnya keguncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar (dahsyat). (Ingatlah) pada hari (ketika)kamu melihat keguncangan itu, lalailah semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan gugurlah kandungan segala wanita yang hamil, dan kamu lihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, akan tetapi azab Allah itu sangat keras." (Q.S. Al Hajj 1-2)

Jika kita mampu memberikan kebahagian pada saudara kita dan mengenyahkan kesulitan-kesulitannya di dunia, niscaya kita menjadi orang yang bahagia di hari akhirat. Orang yang paling bahagia adalah orang yang berhasil membahagiakan orang lain.